DI bagian terakhir khusus bagi para Mama menyusui yang beragama Islam saya menyampaikan sedikit hal mengenai Fatwa Ulama berkaitan dengan Bank ASI. Kalau mengenai hukum saudara sepersusuan silahkan digali sendiri lebih lanjut.
Fatwa Ulama dunia hampir semua menyatakan bahwa Bank ASI hukumnya haram karena tidak bisa dijaganya hukum saudara sepersusuan, jadi ada bahaya bahwa bayi kelak dapat menikah dengan saudara sepersusuan/anak dari Mama susunya.Begitu juga dengan Fatwa dari The Council of the Islamic Fiqh Academy yang dikeluarkan di Jeddah tahun 1985 mengenai Bank ASI menyatakan bahwa Bank ASI dilarang dalam Islam dan dilarang menerima ASI donor dari Bank ASI.
Beberapa ilmuwan Muslim menyatakan bahwa daripada menggunakan format Bank ASI, alternatif lain adalah menggunakan istilah Milk Sharing/Sharing ASI.
Beberapa persyaratan Sharing ASI yang perlu menjadi perhatian sehingga hukum saudara sepersusuan tetap terjaga adalah sebagai berikut : Mama donor dibatasi memberikan ASI nya hanya untuk 1 anak saja , Tidak boleh mencampur ASI donor dari beberapa Mama donor , Semua ASI donor harus dilabel/diberi keterangan yang menyatakan identitas Mama donor secara lengkap & harus diinformasikan kepada keluarga penerima ASI donor.
Baik Mama donor maupun keluarga penerima ASI donor menandatangani consent/surat pernyataan dan dilampirkan di akte kelahiran , Hanya bayi dari Mama dengan kontraindikasi medis (seperti yang sudah saya sampaikan di atas) atau Mama meninggal dunia dapat menerima ASI donor untuk jangka waktu yang lebih panjang , dan Apabila Mama donor hanya memiliki 1 anak atau memiliki lebih dari 1 anak tapi berjenis kelamin sama maka ASI donor diupayakan diberikan kepada bayi dengan jenis kelamin yang sama.
Jadi benang merah yang bisa ditarik, bagi yang beragama Islam, Bank ASI hukumnya haram selama terjadinya pencampuran ASI donor dari lebih dari 1 sumber Mama donor, dan bila ingin menggunakan ASI donor dapat mengikuti langkah-langkah di atas baru dilanjutkan ke prosedur Bank ASI seperti HMBANA kecuali bagian Mixing & Pooling / tidak adanya pencampuran ASI donor dari lebih dari 1 Mama donor.
Menambahi sedikit khusus hukum nasab dalam agama Islam :
HUKUM DUA ORANG WANITA YANG SALING MENYUSUKAN ANAK MEREKA
Oleh Syiakh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada dua orang wanita, yang pertama mempunyai seorang anak laki-laki, yang kedua mempunyai anak perempuan, mereka saling menyusukan anak yang lain. Siapa di antara saudara-saudara mereka yang boleh dinikahi oleh yang lain ?
Jawaban: Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak kecil di bawah umur dua tahun lima kali susuan atau lebih, maka anak tersebut menjadi anaknya dan anak suaminya yang memiliki susu itu. Dan seluruh anak dari wanita tersebut dengan suaminya itu atau dengan suami terdahulunya menjadi saudara bagi anak susuan itu. Seluruh anak suami wanita yang menyusui baik dari wanita itu ataupun dari istri yang lain adalah saudara anak susuannya. Seluruh saudara wanita yang menyusui dan saudara suaminya adalah paman bagi anak susuannya. Demikian pula Bapak wanita yang menyusui dari Bapak suaminya adalah kakek dia dan ibu wanita yang menyusui serta ibu suaminya adalah nenek.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
“Artinya : Dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian dan saudara kalian yang sesusu” [An-Nisa' : 23]
Serta sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Artinya : Sesuatu diharamkan dengan sebab penyusuan sebagaimana apa-apa yang diharamkan oleh sebab nasab”.
لاَرَضَاعَ إِلاَّفِي الْحَوْلَيْنِ
“Artinya : Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali dalam masa dua tahun”.
Dan berdasarkan hadits dalam Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata : “Adalah yang disyariatkan dalam Al-Qur’an dahulu sepuluh kali susuan yang jelas, menyebabkan ikatan kekerabatan. Kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan masalah tersebut tetap dengan keputusannya (lima kali susuan)”. Hadits ini diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi degan lafazh sedemikian, sedangkan asalnya terdapat dalam Shahih Muslim.
[Fatawa Da'wah, Syaikh Bin Baz Juz 1 hal. 206]
IBUKU MENYUSUI SAUDARA (PEREMPUAN) SEPUPUNYA, APAKAH IBUKU BOLEH MEMBUKA HIJAB ?
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Ibuku menyusui sepupu perempuannya. Apakah boleh dia membuka hijab di depan saudara laki sepupunya sedangkan saudara laki-laki sepupunya ini dari istri paman yang lain ?
Jawaban: Seorang ibu menyusui sepupu perempuannya, maka dia menjadi saudara bagi anak laki-laki ibu tersebut karena disebabkan susuan itu.
Kita harus mengetahui kaidah dalam hal susuan, yaitu bahwa pengaruh susuan hanya terjadi kepada orang yang menyusu beserta keturunannya. Seorang wanita menyusui anak kecil maka berarti dia telah menjadi ibu dari anak tersebut. Sehubungan dengan masalah anak kecil ini, apakah hubungan mahram berlaku pula atas ayah atau ibunya ? Jawabannya adalah tidak, karena kemahraman itu hanya terjadi kepada anak yang menyusu beserta keturunannya. Adapun orang tua atau saudarannya maka tidak berlaku kemahraman ini. Kita ambil contoh untuk menjelaskan maksudnya.
Seorang perempuan menyusui anak perempuan kecil. Bagaimana kedudukan anak perempuan tersebut ? Dia menjadi anak bagi ibu yang menyusuinya itu. Adapun anak-anak ibu tersebut telah menjadi saudara bagi anak susuannya itu, saudara atau saudari ibu susuan menjadi paman atau bibi anak itu, ibunyu ibu susuan menjadi nenek, serta ayah ibu susuan menjadi kakek dan begitu pula seterusnya.
Akan tetapi dari pihak keluarga anak perempuan yang menyusu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan mereka karena susuan itu, kecuali pada keturunannya. Jika si anak susuan mempunyai ayah, ibu atau saudara, apakah mereka berlaku hukum dalam masalah susuan ? Jawabannya tidak. Susuan hanya berpengaruh kepada keturunan, sehingga keturunan anak susuan menjadi keturunan dari ibu susuannya juga.
[Durus wa Fatawal Haramil Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz 3 hal.272]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
Bolehkah Membuat Bank ASI?
Bimbingan Islam Fatwa Kedokteran Fiqh Kesehatan Islam oleh dr. Raehanul Bahraen
Bank ASI memang belum diterapkan general di Indonesia tetapi ada segelintir orang yang ingin membawa praktek ini ke Indonesia. Dalam syariat yang menjadi permasalahan adalah tercampur dan ketidakjelasan nasab, karena persusuan bisa menyebabkan kemahraman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَايَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Persusuan itu menyebabkan adanya hubungan mahram, sama seperti keturunan.”[1]
Memang ada beberapa pendapat mengenai masalah kontemporer ini. Secara ringkas pendapat-pendapat tersebut sebagai berikut:
Pendapat Pertama: hukumnya BOLEH
Dengan alasan susuan yang menjadikan mahram adalah menyusu secara langsung dari payudara ibu, sedangkan bank ASI tidak
Pendapat ini TIDAK TEPAT
Karena pendapat terkuat bahwa kemahraman karena persusuan terjadi juga walaupun tidak menyusu langsung. Karena yang yang menyebabkan kemahraman adalah persusuan yang menumbuhkan daging dan tulang, ASI dalam gelas atau bank ASI juga bisa termasuk dalam hal ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا رضاع إلا ما شد العظم وأنبت اللحم
“Tidak termasuk menyusui kecuali susu yang membentuk tulang dan menumbuhkan daging”[2]
Begitu juga dengan kisah Sahlah binti Suhail (istri Abu Hudzaifah) radhiallahu ‘anha ketika Salim bin Ma’qil (bekas budak Sahlah yang diambil anak oleh Abu Hudzaifah) sudah beranjak dewasa dan sering masuk ke rumah mereka, kemudian mereka merasa tidak enak dengan keberadaan Salim (karena anak angkat tetap bukan mahram bagi ibu angkatnya), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Sahlah untuk menyusui Salim supaya menjadi anak susuannya (dan ini adalah kekhususan bagi Sahlah ketika menyusui Salim yang sudah dewasa, karena batas umurnya adalah 2 tahun). Kemudian beliau bersabda,
أرضعيه تحرمي عليه
“Susuilah dia maka dia menjadi haram atasmu (menjadi mahram)”[3]
Maka jelas bahwa Salim radhiallahu ‘anhu tidak langsung menyusu dari payudara Sahlah karena saat itu dia bukan mahram Sahlah saat itu dan tidak layak karena dia sudah dewasaAl-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata,
ولعله هكذا كان رضاع سالم، يصبه في حلقه دون مسه ببعض أعضائه ثدي امرأة أجنبية
“Mungkin demikian yang terjadi ketika menyusui Salim, susu sampai ke tenggorokannya tanpa menyentuh payudara wanita asing dengan sebagian anggota badannya “[4]
Pendapat Kedua: hukumnya BOLEH dengan SYARAT yang KETAT
Yaitu Syaratnya ASI harus didaftar dan diregistrasi dengan baik, sehingga akan jelas nanti siapa yang mendonor ASIdan siapa yang menerima. Sehingga percampuaran nasab yang dikhawatirkan tidak terjadi.
Pendapat ini juga KURANG TEPAT
Karena dengan menimbang kaidah fiqhiyah yaitu,
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat
Maka menolak mafsadah lebih didahulukan, selain itu meskipun sudah teregestrasi dan tercatat lengkap, faktor kesalahan manusia pasti ada seperti tertukar atau salah catat. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI juga bisa mendapat asi dengan cara mencarikan ibu susu sehingga bank ASI benar-benar tidak diperlukan.
Pendapat Ketiga: hukumnya HARAM
Inilah pendapat yang TERKUAT
Berikut fatwa dan penjelasn Ulama mengenai hal ini.
Fatwa Majma’ Al-fiqh Al-Islami,
بعد أن عرض على المجمع دراسة فقهية، ودراسة طبية حول بنوك الحليب.
وبعد التأمل فيما جاء في الدراستين ومناقشة كل منهما مناقشة مستفيضة شملت مختلف جوانب الموضوع تبين :
1- أن بنوك الحليب تجربة قامت بها الأمم الغربية. ثم ظهرت مع التجربة بعض السلبيات الفنية والعلمية فيها فانكمشت وقل الاهتمام بها.
2- أن الإسلام يعتبر الرضاع لُحمة كلحمة النسب، يحرم به ما يحرم من النسب بإجماع المسلمين. ومن مقاصد الشريعة الكلية المحافظة على النسب، وبنوك الحليب مؤدية إلى الاختلاط أو الريبة.
3- أن العلاقات الاجتماعية في العالم الإسلامي توفر للمولود الخداج – إلقاء المرأة ولدها قبل أوانه لغير تمام الأيام، وإن كان تام الخلق – أو ناقصي الوزن أو المحتاج إلى اللبن البشري في الحالات الخاصة ما يحتاج إليه من الاسترضاع الطبيعي، الأمر الذي يغني عن بنوك الحليب.
وبناء على ذلك قرر :
أولاً : منع إنشاء بنوك حليب الأمهات في العالم الإسلامي.
ثانياً : حرمة الرضاع منها.
Setelah dipaparkan penjelasan secara fiqh dan penjelasan secara ilmu kedokteran tentang Bank ASI, dan setelah mempelajari pemaparan dari masing-masing bidang disiplin ilmu, dan diskusi yang melibatkan berbagai sudut pandang, maka disimpulkan bahwa:1. Bank ASI telah diuji cobakan di masyarakat barat. Namun muncul beberapa hal negatif, dari sisi teknis dan ilmiah dalam uji coba ini, sehingga mengalami penyusutan dan kurang mendapatkan perhatian.
2. Syariat islam menjadikan hubungan persusuan sebagaimana hubungan nasab. Orang bisa menjadi mahram dengan persusuan sebagaimana status mahram karena hubungan nasab, dengan sepakat ulama. Kemudian, diantara tujuan syariah adalah menjaga nasab. Sementara Bank ASI menyebabkan tercampurnya nasab atau menimbulkan banyak keraguan nasab.
3. Interaksi sosial di masyarakat islam masih memungkinkan untuk mempersusukan anak kepada wanita lain secara alami. Keadaan ini menunjukkan tidak perlunya Bank ASI.”
Berdasarkan kesimpulan di atas maka diputuskan:
1.Terlarangnya mengadakan Bank ASI untuk para Ibu-ibu di tengah masyarakat islam.
2.Haramnya memberikan susu dari Bank ASI.[5]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya mengenai hal ini, beliau menjawab,
حرام ، ولا يجوز أن يوضع بنك على هذا الوجه ما دام أنه حليب آدميات ؛ لأنه ستختلط الأمهات ، ولا يدرى من الأم ، والشريعة الإسلامية يحرم فيها بالرضاع ما يحرم بالنسب ، أما إذا كان اللبن من غير الآدميات فلا بأس .
“Haram. Tidak boleh membuat bank dengan bentuk penampungan semacam ini. Selama susu yang ditampung adalah susu manusia. Karena akan bercampur semua susu wanita, sehingga tidak diketahui siapakah ibu susuannya. Sementara syariat islam menjadikan hubungan susuan sebagaimana hubungan nasab. Adapun jika yang ditampung adalah susu selain manusia, maka tidak jadi masalah.”[6]
Namun demikian, kita perlu meninjau Fatwa MUI berikut:
Fatwa MUI No.28 Th 2013 tentang Donor Air Susu Ibu (ISTIRDLA’)
![fatma MUI Seputar Masalah Donor ASI]()
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG
a. bahwa di tengah masyarakat ada aktifitas berbagi air susu ibu untuk kepentingan pemenuhan gizi anak-anak yang tidak berkesempatan memperoleh air susu ibunya sendiri, baik disebabkan oleh kekurangan suplai ASI ibu kandungnya, ibunya telah tiada, tidak diketahui ibu kandungnya, maupun sebab lain yang tidak memungkinkan akses ASI bagi anak;
b. bahwa untuk kepentingan pemenuhan ASI bagi anak-anak tersebut, muncul inisiasi dari masyarakat untuk mengoordinasikan gerakan Berbagai Air Susu Ibu serta Donor ASI;
c. Bahwa di tengah masyarakat muncul pertanyaan mengenai ketentuan agama mengenai masalah tersebut diatas serta hal-hal lain terkait dengan masalah keagamaan sebagai akibat dari aktivitas tersebut;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang seputar masalah donor air susu ibu (istirdla’) guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT
1. Firman Allah SWT:
والوالدات يرضعن أوالدهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS Al-Baqarah: 233).
وأمهـاتـكم التي أرضـعـنكم وأخـواتـكـم من الرضـاعـة
Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara sepersusuanmu (Surah Ali Imran 23).
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِ وَالتَقْوَى وَالَ تَعَاوَنُواْ عَلَى اإلِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَقُواْ اللّهَ إِنَ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya ( QS. Al Maidah : 2)
ال ينهاكم اهلل عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقـسطوا إليهم إن اهلل يحب المقسطين
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Mumtahanah : 8).
2. Hadist Rasulullah SAW, antara lain :
“Tidak dianggap sebagai persusuan kecuali persusuan yang dilakukan pada masa pembentukan tulang dan pertumbuhan daging. (HR Abu Daud, Kitab Nikah, Bab Radhaa’atu Al Kabiir)
Diharamkan (untuk dinikahi) akibat persusuan apa-apa yang diharamkan (untuk dinikahi) dari nasab/hubungan keluarga (HR Bukhari Muslim)
Sesungguhnya persusuan (yang menimbulkanm hukum radla’) hanyalah di masa anak membutuhkan ASI sebagai makanan pokok (HR Bukhari, Kitab Al-Syahaadah Bab Al-Syahaadah ala Al-Ansaab dan Kitab Al-Nikaah Bab Man Qolaa La Radhaa’a Ba’da Hawlaini ; Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Innamaa Al-Radhaa’ min Al-Majaa’ah)
Tidak berlaku hukum persusuan setelah anak mencapai usia dua tahun (HR Al-Daaruquthni, Kitab Al-Radhaa’ah).
Dari Aisyah ra ia berkata: Dahulu, dalam apa yang diturunkan dari al-Quran (mengatur bahwa) sebanyak sepuluh kali susuan yang diketahui yang menyebabkan keharaman, kemudian dinasakh (dihapus dan diganti) dengan lima kali susuan yang diketahui, kemudian Nabi saw wafat dan itulah yang terbaca di dalam al-Quran” (HR. Muslim)
Bahwasanya Rasulullah saw melarang untuk meminta menyusui kepada orang yang idiot (HR Abu Dawud hadis mursal)
3. Atsar Shahabat. Sahabat Umar bin Khattab menyatakan :اللبن يـشـبه ، فال تـسـق من يهـودية وال نصـرانية وال زانـية ASI itu dapat berdampak kepada prilaku (anak), maka janganlah kalian menyusukan (anak-anak kalian) dari wanita Yahudi, Nashrani dan para pezina. (Al-Sunan Al-Kubra : 7/464).
4. Qaidah fiqhiyyahلِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ“ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “األصـل في األبـضاع التحـريم Hukum asal melakukan hubungan seks (antara pria dan wanita) adalah adalah haram.
تَصَرُفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ“ Tindakan pemimpin [ pemegang otoritas ] terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan “
MEMPERHATIKAN : dst…
![]()
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN
FATWA TENTANG MASALAH-MASALAH TERKAIT DENGAN BERBAGI AIR SUSU IBU (ISTIRDLA’)
Pertama : Ketentuan Hukum
1. Seorang ibu boleh memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandungnya. Demikian juga sebaliknya, seorang anak boleh menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya sepanjang memenuhi ketentuan syar’i.
2. Kebolehan memberikan dan menerima ASI harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:a. Ibu yang memberikan ASI harus sehat, baik fisik maupun mental.b. Ibu tidak sedang hamil
3. Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ketentuan angka 1 menyebabkan terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan).
4. Mahram akibat persusuan sebagaimana pada angka 2 dibagi menjadi depan kelompok sebagai berikut :
a. Ushulu Al-Syakhsi (pangkal atau induk keturunan seseorang), yaitu : Ibu susuan (donor ASI) dan Ibu dari Ibu susuan tersebut terus ke atas (nenek, buyut dst).
b. Al-Furuu’ Min Al-Radhaa’ (keturunan dari anak susuan), yaitu : Anak susuan itu sendiri, kemudian anak dari anak susuan tersebut terus ke bawah (cucu, cicit dst).
c. Furuu’ Al-Abawaini min Al-Radhaa’ (keturunan dari orang tua susuan), yaitu : Anak-anak dari ibu susuan, kemudian anak-anak dari anak-anak ibu susuan tersebut terus ke bawah (cucu dan cicit).
d. Al-Furuu’ Al-Mubaasyirah Min Al-Jaddi wa Al-Jaddati min Al-Radhaa’ (keturunan dari kakek dan nenek sesusuan), yaitu : Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari suami ibu donor ASI dan Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung dari ibu donor ASI. Adapun anak-anak mereka tidaklah menjadi mahram sebagaimana anak paman/bibi dari garis keturunan.
e. Ummu Al-Zawjah wa Jaddaatiha min Al-Radhaa’ (ibu sesusuan dari Istri dan nenek moyangnya), yaitu : Ibu susuan (pendonor ASI) dari istri, kemudian ibu dari ibu susuan istri sampai ke atas (nenek moyang).
f. Zawjatu Al-Abi wa Al-Jaddi min Al-Radhaa’ (istri dari bapak sesusuan dan kakek moyangnya), yaitu : Istri dari suami ibu pendonor ASI (istri kedua, ketiga atau keempat dari suami ibu pendonor ASI), kemudian istri dari bapak suami ibu pendonor ASI sampai ke atas (istri kedua, ketiga atau keempat dari bapak suami ibu pendonor ASI sampai ke kakek moyangnya).
g. Zawjatu Al-Ibni wa Ibni Al-Ibni wa Ibni Al-Binti min Al-Radhaa’ (istri dari anak sesusuan dan istri dari cucu sesusuan serta anak laki dari anak perempuan sesusuan), yaitu : Istri dari anak sesusuan kemudian istri dari cucu sesusuan (istri dari anaknya anak sesusuan) dan seterusnya sampai ke bawah (cicit dst). Demikian pula istri dari anak laki dari anak perempuan sesusuan dan seterusnya sampai ke bawah (cucu, cicit dst).
h. Bintu Al-Zawjah min Al-Radhaa’ wa Banaatu Awlaadihaa (anak perempuan sesusuan dari istri dan cucu perempuan dari anak lakinya anak perempuan sesusuan dari Istri), yaitu : anak perempuan susuan dari istri (apabila istri memberi donor ASI kepada seorang anak perempuan, maka apabila suami dari istri tersebut telah melakukan hubungan suami istri -senggama- maka anak perempuan susuan istri tersebut menjadi mahram, tetapi bila suami tersebut belum melakukan senggama maka anak perempuan susuan istrinya tidak menjadi mahram). Demikian pula anak perempuan dari anak laki-lakinya anak perempuan susuan istri tersebut sampai ke bawah (cicit dst).
5. Terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan) akibat radla’ (persusuan) jika :
a. usia anak yang menerima susuan maksimal dua tahun qamariyah.
b. Ibu pendonor ASI diketahui identitasnya secara jelas.
c. Jumlah ASI yang dikonsumsi sebanyak minimal lima kali persusuan.
d. Cara penyusuannya dilakukan baik secara langsung ke puting susu ibu (imtishash) maupun melalui perahan.
e. ASI yang dikonsumsi anak tersebut mengenyangkan
6. Pemberian ASI yang menjadikan berlakunya hukum persusuan adalah masuknya ASI tersebut ke dalam perut seorang anak dalam usia antara 0 sampai 2 tahun dengan cara penyusuan langsung atau melalui perahan.
7. Seorang muslimah boleh memberikan ASI kepada bayi non muslim, karena pemberian ASI bagi bayi yang membutuhkan ASI tersebut adalah bagian dari kebaikan antar umat manusia.
8. Boleh memberikan dan menerima imbalan jasa dalam pelaksanaan donor ASI, dengan catatan; (i) tidak untukkomersialisasi atau diperjualbelikan; dan (ii) ujrah (upah) diperoleh sebagai jasa pengasuhan anak, bukan sebagai bentuk jual beli ASI.
Kedua : Rekomendasi
1. Kementerian Kesehatan diminta untuk mengenluarkan aturan mengenai Donor ASI dengan berpedoman pada fatwa ini.
2. Pelaku, aktifis dan relawan yang bergerak di bidang donor ASI serta komunitas yang peduli pada upaya berbagi ASI agar dalam
menjalankan aktifitasnya senantiasa menjaga ketentuan agama dan berpedoman pada fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan
Penutup
1. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 4 Ramadhan 1434 H
13 J u l i 2013M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
Tambahan Journal :
Biomedical Ethics and Peer-to-Peer Milk SharingKarleen D. Gribble, BRurSc, Ph.D.1The facilitation of peer-to-peer milk sharing via the Internet has proven challenging to many health professionals and organizations. Biomedical ethics can be used to explore medical dilemmas and find reasoned, consistent, and defensible solutions to moral problems. The principles of biomedical ethics—autonomy, veracity, beneficence, nonmaleficence, confidentiality, and justice—are applied to peer-to-peer milk sharing in this article. Application of these principles provides guidance to assist lactation consultants to act ethically in their interactions with mothers and others around the peer sharing of milk.Keywords: Biomedical ethics, peer-to-peer, milk sharing Clinical Lactation, 2012, Vol. 3-3, 109-112
http://www.clinicallactation.org/content/biomedical-ethics-and-peer-peer-milk-sharing
Milk sharing and formula feeding: Infant feeding risks in comparative perspective?
Karleen D. Gribble and Bernice L. Hausman
Conclusion
Health authorities have warned parents against peer-to-peer milk sharing networks stating that sharing breast milk is dangerous.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3395287/
F.B. Monika Purba seorang Konselor Laktasi dan La Leche League (LLL) International Leader-US (2013) Mengenai ASI Donor, Screening Ibu Donor & ASI Donor, Fatwa
Walker, M. (2011) Breastfeeding Management for the Clinician: using the evidence. 2nd ed. Sudburry, MA. Jones and Bartlett
Lawrence, RA. (2011) Breastfeeding: A Guide for the Medical Profession. 7th ed. Maryland Heights, MI. Mosby
ABM Protocol #3. Hospital Guidelines for the Use of Supplementary Feedings in the Healthy Term Breastfed Neonate. (2009) Revised Edition. www.bfmed.org
Israel-Ballard, K., et al. (2008) Flash-heated and Pretoria Pasteurized destroys HIV in breast milk & Preserves Nutrients! Advanced Biotech.http://www.advancedbiotech.in/51%20Flash%20heated.pdf accessed January 8, 2012
Fatwa MUI No. 28 Tahun 2013 Tentang Donor Air Susu Ibu (Istirdla’)